Demo Slot Universitas Lampung
%PDF-1.4
%Çì�¢
5 0 obj
<>
stream
xœ\[—Û6’~÷¯àËž¥ö´ rv_r�xbÇ3vgrædæ�-ÑV§Û”Òj%ãùU»ÿp«
—*Hl;gÏ?XM� X¨úê«õKÕ6ªjñ_üóþÙg¯}õîø¬Þ=û噢/«øßæ}õÅ5è+Õ5mW]¿}nS•î]£må;Ó辺~ÿì§ú›ñneša°C_ŸVkS߯à®Öuª~„?ác׫z\y㕯�«µn†~P®®¾[9ø~pºž¶y’=Nr‡“(匜dz YÔ`ëqÆË0M«ëj¥Œðºþa•®Í´Êà{[ßæýüÊÅTqC¾ÓbèÅÖmgäÈêÅÊÂUM=¾_)‡ËÖžÿÄÅVÞÖÊ4½wlú×!ƒÌq÷$åµòºéMµÖ å¾UÕõö¼þù™¶MçZ]]¿Àÿ'ÝÖµº±®Z;£¼£»Œ¥ûÖé;Ý5ôÅOõˉMYíëíi¥ZغàÔÖ]=^U«ånMý×ÕÚ‚úÞÁ‰àZªõaÔ)<0V=Up&°ðDêªú„w·pˆqŒ¯÷Qjp–šwÊÔÝUõ*�¾Ë<âû8\]=Ô•nUþÞ¬z˜ÕôI€__?û˳_ªÎ{ÒPü_µh¨‘Ù èJW_íqØz®Ë2)º2®1]åýGŠþn·íº®þzÕÕ/?Y}D佃KðŒî†úuÆ7|ž?½^¸ö-I
Ôê«•¢ËfÄ‹½¶õ÷yäQézPÏÄ^Ò°
wÓiÓ|µðõk>O^úOŸç3¸^ÛÆXØ…¯«çÏÅžþ¼Z£ônTxÚzùÙ‚<À(†tÕ9[ÿ-¬‹ŸƒyYc`ÿÕùû7Ï?¶náòP…]�ɪiëjü"?/ð=n¼kÝÐ*¶*8RMçÙ£½U`Y0�8YTyìk탶VpŽ€BÁVÞœV¦¾oïnIÍcú:ìp ‰}�rq q'×wd•`HhðMg&Th½ÿ¾Ziݸ%ïîóÍkÕY8ÚN—�@Á-´saû¶ñv ¥_˼ƒ�;Øïn<®ÐÝ`j|ŒúøÛX!hÃÔmk\}ºOZEÆ7¥½¦gý.Ÿò´Ý£
‚š\Ø-ZmÓ8W?̨.€ïqá_óh9ðx›Ï4�ÛmÑò_ ¶¢îÁ1N3§nÌXt’ÅÐ7DR\‚$P·¬€ªoŽ�ÁetàcðùÛF^Ä©Öªñ$qÒºýXúø⬮DŽ0MòLjÀ‡L÷Y>ãø&~î]>Ù¼Kï‹ÛkÃ
N`þAÕô>XÚ€Þ%Yh €SßD öÎÛz;fÐX;€NÖãŽÆ÷õvÊ_ƒÞŸ¦øõßk¾‡7ðE>¾ê—GŠ½Œ°>\‡ƒU}t#¸`X¶àêÃ4 àF‡¢Çýß¡Zˆ³@–æÞFA t–%!f;=
Ðâ‚Ú�>�¨AÚ€uIƒÖé8ÀâÂ:•mÜ™Rqœøüo²
�7wÙ@×A3;”Á…³œvYú8ÈpO/L�,CÛéH‚råñ(‡9¯ö.ßKgÖµy›h·hB½`
&EÃ>CÉ
²©¬cÓ|Úݲ>‰uÙÀÅo‘µ)Ý[¶z`5CvÅ_�ÙB-뾶ªÑ*©þ�hÛkÿpO¦Ô:êm|&øø-¯¢bêi̧|¿¨3»|ÈñöÉ+ºßƒê>¼£Äzå¥Öýæ…i’£¹ÍŸöó¥å* Q6n”© JòþñÛWH{£5Ú‹k:åm"+kãmÓŸ©ÚiŽ¸ä@±OwÙ@a~g‚+”f‰®„Ó ÄxÌ7ãHÊaú!œ2D Õk.µí*N�¨¸-¿Jw“0â�¿�Çõ¯méòÆÀØ÷Gm³h©Ö#©@i yž(bU¥ëüŒRÆ“ï3íô dÖºõñ†`ÆѨAh¬td§|õˆcÉÁXai¬¥ `Y«ÒC³ºL�Ìm2æ¢�J³&À¾‚0N5ªsI³ÄP<*KvG ¡àÈ
L]ó°ÒÒÁMå½ànɧ›Zµ8\öšNêc\eìºäô Àƒ{ZtaÝ‚
(opini ini dimuat di Opini Pembaca Media Indonesia, Kamis, 21 Agustus 2008)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialirkan melalui tiga saluran, yakni: bidang polhukam (politik, hukum, dan keamanan), bidang kesra (kesejahteraan rakyat), serta bidang perekonomian. Idealnya, ketiga bidang ini, mestilah balance (seimbang). Dengan kata lain, jangan terdapat aliran yang terlalu banyak kepada satu saluran tertentu yang mengakibatkan bidang/pos yang lain kekeringan.
Di tengah membanjirnya persoalan di Tanah Air, memperhatikan aspek ‘prioritas’ (mana yang dianggap paling penting hingga yang tidak penting) dalam membelanjakan anggaran merupakan suatu keharusan. Artinya, pemerintah dihadapkan dengan suatu kondisi yang begitu pahit: jika anggaran di tiap departemen/kementerian dikurangi untuk dialirkan ke beberapa pos/kementerian yang dianggap lebih penting, maka dampaknya niscaya akan sangat meluas.
Bidang pendidikan, akhir-akhir ini, menjadi sorotan. Hal itu bukan hanya karena pendidikan merupakan suatu dimensi yang penting untuk mencerdaskan bangsa (meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia). Tetapi juga karena, secara konstitusi, merupakan amanah UUD 1945 (Pasal 28C dan Pasal 31).
Lebih tegas lagi, dan tentu tidak bisa ditawar-tawar, pada Pasal 31 ayat (4)-nya disebutkan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Beberapa gedung sekolah yang ambruk di sejumlah daerah (dan bahkan menelan korban) serta kesejahteraan guru/dosen juga mendesak untuk diperhatikan. Agaknya, putusan Mahkamah Konstitusi Rabu (13/8) lalu telah memberikan teguran keras bagi pemerintah.
Di sisi lain, kita juga dihadapkan dengan rekonstruksi pascabencana di sejumlah daerah serta pembangunan berbagai infrastruktur yang telah hancur karena sudah tidak layak guna, seperti rumah layak huni, jalan raya/jalan nasional, jembatan, sarana pelistrikan, air bersih, dsb. Toh itu semua, dari segi ekonomi, juga mendukung kehidupan orang dan perputaran barang lintas-daerah.
Di bidang kesehatan pun demikian. Apalagi, akhir-akhir ini, sejumlah penyakit seperti flu burung, DBD, dsb juga menyiksa dan mengintai masyarakat banyak. Pada akhirnya, pos/bidang kesehatan, juga meminta anggaran yang tidak sedikit.
Selain itu, upaya menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI (pertahanan) oleh TNI, apa tidak diperhitungkan? Ya, jelas, ini menjadi suatu keharusan.
Buktinya, jangankan mencapai anggaran yang ideal, untuk meraih titik minimum essential force saja masih jauh dari harapan. Itu juga termasuk tuntutan dari segi peningkatan kesejahteraan prajurit TNI, biaya latihan/gelar pasukan, pengadaan/pemeliharaan alutsista, dan sebagainya.
Belum lagi berbagai pos/bidang seperti: kepolisian (untuk keamanan/penegakan hukum), lingkungan hidup, pertanian/kehutanan, kelautan/perikanan, koperasi/UKM, riset dan teknologi, kebudayaan dan pariwisata.
Nah, sekarang, mana yang dipilih dan menjadi prioritas? Alhasil, pemerintah ibarat memakan buah simalakama: jika yang satu diselesaikan, maka seketika muncul permasalahan yang lain. Ini memang persoalan besar bagi pemerintah yang tentu membutuhkan pertimbangan yang ekstra-cermat, hati-hati, dan matang, serta menyedot segenap energi dan fikiran. Selain fikiran, akan lebih baik pertimbangan yang dilakukan juga melibatkan hati nurani yang di-back up dengan kesadaran yang luhur bahwa: apapun upaya hitung-menghitung yang dilakukan adalah sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat demi kesejahteraan mereka agar bisa hidup layak dan bermartabat.
Pada dasarnya, dalam membelanjakan anggaran, sikap konsisten untuk menghindari dua ‘bo’, yakni ‘bocor’ dan ‘boros’, niscaya akan sangat membantu untuk meraih goals (berbagai tujuan/target) yang hendak diraih dengan efektif dan efisien. Alhasil, dibutuhkan suatu keterpaduan antardepartemen/lembaga negara. Intinya, mana yang perlu diparalelkan, harus diparalelkan. Mana lembaga yang mestinya disatukan, anggarannya cukup menurut kebutuhan minimal saja.
Dengan demikian, penulis mengajak, mari kita secara bersama, mengawal dan tetap meneropong segala kegiatan pemerintah (Istana dan Senayan) dalam merancang serta membelanjakan APBN-P 2008 (termasuk APBN 2009 mendatang yang konon 20% untuk pendidikan) ini. Mari kita hormati pemerintah yang tengah berkuasa (diberi mandat untuk menyelenggarakan negara hingga 2009) ini dengan segala kebijakan dan prioritas mereka, sembari tetap dan terus memberikan kritik yang konstruktif dan masukan yang santun. Aspek akuntabilitas guna pertanggungjawaban, juga menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kesemua itu.
Mencermati persoalan mana yang penting dan mana yang tidak penting ini, yakni bidang mana yang lebih diprioritaskan dibanding yang lain dalam APBN, seketika penulis teringat akan pandangan seorang pemikir yang telah dipercaya untuk duduk di kabinet oleh empat presiden.
Beliau (2002) mengatakan: keadaan negara tidak akan membaik sampai dan kecuali bila organisasi negara itu mempunyai kepemimpinan politik yang tegas dan kuat. Yang pasti, tentunya, sikap tegas dan kuat yang dimaksud ialah sikap yang bersandarkan diri kepada prinsip – meminjam istilah Pak Sukardi Rinakit – Gusti Ora Sare (Tuhan tidak tidur).
Iwan Sulistyo, Mahasiswa FISIP UI
Author: Iwan Sulistyo
Iwan Sulistyo is an Assistant Professor in the Department of International Relations at Universitas Lampung, Indonesia. View all posts by Iwan Sulistyo
(Dari Iwan Sulistyo, dimuat dalam Haluan, 27/3/2014; http://issuu.com/haluan/docs/hln270314)
Tajuk Haluan (19/3), “Selamat Bertugas Brigjen Bambang”, penting dan menarik untuk dicermati. Di situ disinggung sejumlah tantangan yang akan dihadapi Kapolda Sumbar yang baru, Brigjen Pol Bambang Sri Herwanto (kelahiran 1962; lulusan Akpol 1984; kaya pengalaman di bidang reserse; sebelumnya menjabat Karosunluhkum, Divkum Polri).
Beberapa tantangan utama itu, antara lain, penertiban tambang liar di sejumlah kabupaten (Solok Selatan, Sijunjung, dan Dharmasraya) serta kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Juga soal bagaimana menekan angka kriminalitas dan, tentu saja, penyelenggaraan pemilihan umum – baik legislatif dan presiden 2014 maupun pemilihan kepala daerah – dalam beberapa waktu mendatang.
Brigjen Bambang menegaskan tiga target pokok: (1) “Tidak ada darah menetes” (artinya tak ada perkelahian massa dan pembunuhan); (2) “Tidak ada kaca yang pecah” (tak ada perkelahian dan anarkis); serta (3) “Tidak ada asap di Sumbar terkait dengan pemilu” (tak ada pembakaran dan perusakan). [Haluan, 20/3]
Dari tiga frase bersayap ini, tampak bahwa ia paham terhadap tantangan besar yang sudah di depan mata, yakni Pemilu Legislatif 9 April mendatang. Ia juga menyadari sepenuhnya, penyelenggaraan demokrasi prosedural di Sumbar membutuhkan perhatian dan penanganan ekstra.
Lebih jauh, sebagai polisi sipil di tengah lalu-lintas kepentingan politik antarelit, aktor, dan faksi dari tingkat provinsial hingga lokal, ia berkomitmen untuk tetap di posisi netral dan profesional. Komitmen yang lebih rinci, misalnya, juga tampak ketika Brigjen Bambang mengunjungi redaksi sejumlah harian lokal di Sumbar, Senin (24/3) lalu.
Tahun ini adalah tahun politik. Apapun bisa terjadi dan siapapun bisa berbuat out of control. Praktis, makna terhadap pengertian “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana; serta seberapa banyak?” sangat terasa kental dalam tahun ini.
Bagaimanapun, upaya sang Kapolda hanya akan berarti manakala gelanggang pemilu diisi dengan etika, moral, dan kesantunan berpolitik. Di samping memperkuat konsolidasi internal tiap partai politik, para elit lokal juga harus mampu mengendalikan pendukungnya; terutama di tingkat akar rumput. Dengan harapan, tidak ada gesekan kecil yang dapat memicu benturan dan letupan besar. Kita semua berharap, kelak, jika terjadi “selisih perolehan suara yang tipis” ataupun kekecewaan terhadap ‘wasit’, itu tidak secara signifikan memengaruhi stabilitas keamanan.
Setiap perwira tinggi kepolisian yang ditunjuk menjadi pimpinan puncak pada tingkat provinsi di Indonesia adalah mereka yang telah berpengalaman, pun dibekali wawasan kepemimpinan dan manajerial. Karena itu, mereka akan selalu memiliki tantangan yang variatif dan kontekstual. Ragam tantangan itu sifatnya cair; ia menyatu dengan dimensi kehidupan yang luas dan dinamis. Tinggal bagaimana memastikan bahwa panel-panel, sistem, dan komponen yang bergerak di bawah komando mereka bekerja dengan baik.
Dibanding dengan, misalnya, Metro Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua (semuanya Polda tipe A; dijabat bintang dua), Sumbar relatif memang bukanlah provinsi yang terlalu besar dan strategis, apalagi secara ekonomi. Namun, bukan berarti Sumbar adalah pos yang tidak penting.
Dengan total populasi nyaris 5 juta jiwa (mayoritas adalah muslim yang relatif kuat dengan nilai-nilai adat Minangkabau, termasuk budaya merantau-nya), jumlah penduduk miskin sekitar 380.626 jiwa (September 2013), angka pengangguran pada Agustus 2013 sebanyak 150,7 ribu orang (bertambah 8,5 ribu orang dari Agustus 2012; jumlah trend pengangguran laki-laki mengalami kenaikan dan perempuan mengalami penurunan dalam interval ini), serta pertumbuhan ekonomi pada 2011 sebesar 6,22% [semua merujuk data BPS Sumbar], dan bahkan tidak pula memiliki sumber daya alam yang melimpah; Sumbar justru menyimpan potensi untuk menjadi salah satu contoh pembangunan kemitraan strategis antara polisi dan masyarakat. Ia juga dapat sebagai laboratorium masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.
Bila mengamati kinerja institusi kepolisian secara umum, ‘dimensi kunci’ yang layak diungkap adalah trust (kepercayaan). Kepercayaan yang tinggi amat tergantung pada citra positif yang dibangun. Dari sini kita bisa mengurainya ke dalam dua simpul penting.
Pertama, ihwal tugas utama kepolisian: “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” (UU No. 2/2002 tentang Polri).
Ketersediaan infrastruktur ruang publik yang semakin baik, tidak menyusutnya jumlah penduduk miskin, dan kian bertambahnya jumlah kelas-menengah – pada saat yang sama – niscaya menyimpan persoalan besar. Sebagai provinsi yang berada di tengah Pulau Sumatera, Sumbar juga sangat rawan akan kejahatan lintas-provinsi dan bahkan lintas-negara.
Sungguhpun kejahatan, sebagaimana yang dikatakan sosiolog terkemuka dunia – Emil Durkheim, dipandang sebagai gejala yang normal di dalam masyarakat; tetapi, upaya menekan crime rate (angka kejahatan) hingga ke titik terendah membutuhkan kerjasama multi-sektor, tidak hanya kepolisian. Lagipula, menurunnya fear of crime (rasa takut akan kejahatan) juga membutuhkan peran media massa yang profesional.
Menanggulangi kejahatan jalanan bertaut dengan seberapa besar peran pemerintah daerah dalam menangani angka pengangguran usia produktif. Ketersediaan pelatihan keterampilan, modal, dan birokrasi yang efektif dan efisien menjadi suatu yang tak terhindarkan. Alhasil, semua unsur pemerintah daerah harus kompak untuk menekan angka putus sekolah.
Kesempatan memperoleh kredit lunak, dari bank ataupun pemerintah, untuk modal berwirausaha bagi masyarakat harus didukung oleh karakter dan mentalitas manusia yang pekerja keras, gigih, bersemangat, kreatif, dan pantang menyerah.
Hampir semua pemikir kriminologi sadar, tiada ‘resep jitu’ atau ‘jawaban tunggal’ dalam mencegah kejahatan. Namun, atas dasar kajian yang komprehensif, polisi yang cerdas akan selalu memiliki strategi untuk membunuh pola tindak kejahatan, khususnya kejahatan jalanan, sejak dari embrio. Sementara, untuk kejahatan kerah putih (White-Collar Crime; melibatkan kelas atas), tentu butuh penanganan dan keberanian tersendiri.
Selain itu, dinamika penegakan hukum dalam spektrum ekonomi-politik (sejumlah titik yang menyimpan kekayaan alam/mineral) pun membutuhkan kehati-hatian. Dialog yang intensif dan saling memahami perbedaan cara pandang antarpihak untuk mencapai kata mufakat penting dilakukan.
Bila kepolisian berkomitmen terhadap upaya untuk semakin melindungi, melayani, dan mengayomi dalam ‘menggunakan’ serta ‘menegakkan hukum’; wujud itu niscaya akan terlihat dari kian baiknya citra. Itu akan terbaca dari cepat-tanggap dan responsifnya mereka terhadap aduan masyarakat.
Kedua, soal community policing (sebagian pakar di Indonesia menerjemahkannya sebagai ‘pemolisian komuniti’; sebagian lainnya ‘perpolisian masyarakat’, Polmas). Terlepas dari perdebatan akademik soal penggunaan istilah serta bagaimana mengukur kegunaan atau bahkan keberhasilan dalam konsep ini, kita rujuk saja Skep Kapolri No. 737/2005 (disempurnakan dengan Peraturan Kapolri No. 7/2008) yang intinya Polmas mengandung tujuan agar rakyat dan aparat kepolisian bersinergi guna menyelesaikan pelbagi persoalan sosial dalam kehidupan masyarakat dan mendukung nilai-nilai kemanusiaan.
Sejauh pengamatan saya, upaya membangun Polmas di Sumbar dilakukan dengan cukup serius dan intensif. Salah satunya oleh jajaran kepolisian di Kabupaten Dharmasraya. Sang Kapolres paham konsep dan juga cekatan dalam menerapkannya di lapangan. Walau masih terdapat kekurangan, tentu upaya itu layak diapresiasi.
Daya dukung yang bersumber dari kearifan lokal Minangkabau memungkinkan implementasi program Polmas berjalan dengan baik. Sebab, di ranah Minang terdapat apa yang disebut sebagai tungku tigo sajarangan; suatu keterpaduan erat antara tiga unsur penting dalam masyarakat(niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai).
Terlepas dari pergeseran makna filosofis adat itu dalam kondisi kekinian, beban Brigjen Bambang akan menjadi lebih ringan. Tinggal bagaimana memperkuat koordinasi dengan jajaran pada tingkat kabupaten/kota. Betapapun jitu program yang ada, ia harus terlaksana dengan mantap oleh jajaran di lapangan.
Penting pula untuk mendorong jajaran kepolisian di daerah agar memperkuat Polmas. Hal yang tidak dapat diabaikan ialah memperbanyak varian program dengan menjangkau lintas-usia dan lintas-kelompok. Mengintensifkan kemitraan dengan masyarakat, misalnya sosialisasi lewat jejaring sosial (24 jam sehari; utamanya menjangkau kelas-menengah yang rentan menjadi korban kejahatan), niscaya akan lebih efisien.
Di samping “pemenuhan aneka kebutuhan pokok dan disiplin sosial memang adalah kunci stabilitas dari suatu daerah”; namun, kemitraan polisi-masyarakat merupakan aspek yang kritikal bagi pencapaian tertib hukum dan tertib sosial; termasuk usaha menyebarluaskan kampanye sadar hukum dan tertib berlalu-lintas agar terhindar dari kecelakaan di jalan raya.
Kendati Polri hanya memperoleh alokasi anggaran yang terbatas, sekitar Rp45 triliun untuk 2014 (termasuk tambahan Rp1 triliun bagi penyelenggaran Pemilu); akan tetapi, menghadirkan ‘rasa aman dan tenang’ di tengah rakyat adalah bagian penting dari pilar penopang kesejahteraan dalam arti yang sangat luas.
Kesemua ragam tantangan di atas, dengan demikian, mensyaratkan kerjasama yang terpadu dan sepenuh hati dari semua lapisan masyarakat; khususnya dalam memberantas kejahatan kekerasan yang akhir-akhir ini – sejauh pengamatan saya – cukup intens dan meresahkan.
Keamanan di Sumbar, sebagaimana provinsi-provinsi lainnya, harus ditangani secara lintas sektor dan lintas disiplin; utamanya secara kriminologis, sosiologis, antropologis, dan demografis.
Ketika hendak menutup tulisan ini, sembari menikmati secangkir kopi; entah mengapa, tiba-tiba saya teringat kata-kata Albert Einstein, seorang ilmuwan besar dunia: “The world is a dangerous place to live, not because of the people who are evil, but because of the people who don’t do anything about it.”
Selamat mengabdi di Ranah Minang, Jenderal.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,
(opini ini dimuat di Opini Pembaca Media Indonesia, Rabu, 6 Agustus 2008)
Bung Franky Sahilatua benar. Dia melantunkan: di atas tanahku, dari dalam airku, tumbuh kebahagiaan. Di sawah kampungku, di jalan kotaku, terbit kesejahteraan. Tapi kuheran di tengah perjalanan, muncullah ketimpangan.
Terkait itu, penulis teringat akan sebuah seminar (29 Mei 2009 lalu), di FISIP UI, Depok, bertajuk “Peta Jalan Baru Menuju Kesejahteraan dan Keadaban Bangsa Indonesia”, yang merupakan bagian dari peringatan 100 tahun kebangkitan nasional. Hadir berbagai pembicara, antara lain Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Prof. Juwono Sudarsono dan sejumlah pakar, seperti dua orang sosiolog UI, Dr. Imam B. Prasojo dan Dr. Tamrin Amal Tomagola. Dari sisi pengamat politik, turut hadir Eep Saefolloh Fatah (UI), Budiarto Sambasy (Kompas). Aspek pertahanan dan keamanan pun diisi oleh Edy Prasetyono, Ph.D (CSIS). Tak ketinggalan, dari dimensi ekonomi, Dr. Hendri Saparini (ECONIT). Dari sudut pandang sosial-budaya, menghadirkan Dr. Yunita T. Winarto (UI). Di bagian penghujung, guru besar FISIP UI, Prof. Eko Prasodjo, mengupas persoalan good governance.
Yang menarik ialah di sesi awal, yakni pembukaan oleh Menhan RI, Prof. Juwono Sudarsono. Beliau memukul gong pertanda acara seminar resmi dimulai. Tatkala Prof. Juwono memukul gong, penulis sendiri tidak menghitung dengan cermat berapa kali gong itu dipukul. Anehnya, pada pukulan yang terakhir, beliau memukul dengan pelan, sedikit saja! Semua yang hadir sempat senyum, dan bahkan ada yang tertawa kecil. Mungkin menganggap kejadiannya secara tidak sengaja. Penulis pun tidak terlalu ambil pusing.
Baru pada saat Eep Saefulloh Fatah berbicara, ia menyinggung sesi pembukaan tadi. Sedemikian cermatnya Mas Eep, ternyata Prof. Juwono memukul gong sebanyak 5 (lima) kali, yang melambangkan jumlah sila dalam Pancasila. Dengan kata lain, dapat diterjemahkan, bahwa sila ke-1, 2, 3, dan 4 relatif terlaksana dengan baik dalam kehidupan keseharian bangsa kita. Namun, yang masih belum kuat gema dan gaungnya yakni sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padahal, kenyataannya, toh nyaris kesemua sila dalam Pancasila begitu sulit untuk diimplementasikan dengan sungguh-sungguh.
Di bagian awal, uraian sosiolog Dr. Tamrin Amal Tomagola, juga menggelitik sebagian besar peserta seminar. Ringkasnya, Pak Tamrin mengingatkan bahwa masih adanya sejumlah potensi konflik pada beberapa daerah di Indonesia jika tidak diantisipasi dengan penataan pilar-pilar yang sangat prinsipil, yakni: hubungan antarkelompok, pola permukiman yang integratif (artinya jangan ada pengelompokan berdasarkan etnis dan harus ada persatuan), peningkatan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, dan pola hubungan jender serta pola pengembangan remaja dan pemuda. Juga termasuk pentingnya aspek seperti modern-civic nationalism guna memperkuat nasionalisme. Selain itu, jangan lupa untuk tetap membangun solidaritas berbangsa yang berbasis pengetahuan dan teknologi demi peningkatan martabat bangsa.
Hal lain yang menarik kita cermati yakni paparan pakar militer/pertahanan, Edy Prasetyono, Ph.D., yang menekankan pentingnya pengembangan strategi pertahanan Indonesia sebagai negara kepulauan yang amat luasmengingat posisi strategis kita di kawasan . Dengan tidak mengabaikan potensi ancaman dari dalam negeri, Mas Edy juga menegaskan bahwa ancaman dari luar juga tidak kalah dahsyatnya jika kita tidak mengantisipasi dan menopangnya dengan berbagai kemampuan antara lain dengan melakukan kontrol wilayah dan mobilitas tinggi. Intinya, dibutuhkan pertahanan militer (bersifat teknis ketentaraan) dan nir-militer (ekonomi/jasa, pengetahuan, teknologi, nilai-nilai, kebudayaan, dsb).
Dengan demikian, jelaslah betapa kita hidup di tengah suatu negeri yang, mau tak mau, harus benar-benar sadar bahwa pentingnya survival of the state (keberlangsungan kerangka kenegaraan serta penyelenggara negara yang sadar fungsi dan peranannya) dan survival of the nation (kebersamaan dan persatuan/kesatuan bangsa). Alhasil, kedua tali-temali itu, nation dan state, harus eksis secara jangka panjang.
Lazimnya, kesejahteraan dapat diukur dengan adanya peningkatan konsumsi (belanja barang dan jasa) oleh penduduk karena meningkatnya gaji/pendapatan mereka. Karenanya, semua warga negara memiliki hak untuk bisa hidup layak dan sejahtera. Selain itu, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan juga tidak bisa dilepaskan dari kesemua perangkat tadi. Di situlah aspek keadilan sosial mengambil peranannya. Kesejahteraan harus merata dan meluas, baik di Indonesia bagian barat maupun di Indonesia bagian timur. Jangan ada lagi ketimpangan. Maka, aspek-aspek seperti: sandang, pangan, papan, pendidikan, pelayanan kesehatan, akses listrik dan air bersih, serta lapangan pekerjaan yang tersedia (termasuk rasa aman), mau tidak mau menjadi suatu keharusan.
Mimpi adalah mimpi. Akan tetapi cita-cita ialah mimpi yang disertai dengan visi/arah yang jelas serta usaha yang terukur. Bagaimanapun juga, kita semua harus tetap bermimpi terus! Tapi, jangan terlalu lama tidur terbuai mimpi. Penulis sendiri harus mengakhiri tulisan ini karena penulis tidak ingin terlalu lama bermimpi dan menceritakan dongeng ihwal kesejahteraan kepada anda. Jika memang demikian halnya, ayo lekas bangkit, buka mata, buka telinga, mari berfikir, dan buka hati nurani!
Penulisyakin, anda, dan kita semua di kemudian hari, niscaya tidak bakal menghendaki bahwa ‘kesejahteraan’ itu masih tetap dongeng dan mimpiyang hanya diceritakan kepada anak-cucu di masa mendatang. Kita harus optimis bahwa hanya dengan do’a dan kerja keras-lah, dongeng dan mimpi ihwal kesejahteraan itu betul-betul terwujud ke dalam dunia nyata. Jangan sampai ketika memperingati dua abad kebangkitan nasional kelak, pada 100 tahun kemudian, kita masih saja asyik bermimpi untuk ‘sejahtera’, dongeng yang seharusnya haram bergelayut di dalam kepala kita. Dan Bung Franky Sahilatua pun menutup dengan: …aku heran, aku heran, satu kenyang, seribu kelaparan… Aku heran, aku heran, keserakahan diagungkan…
Akan tetapi, tanpa nasionalisasi berbagai aset negara yang penting (ingat amanah pasal 33 UUD 1945), mustahil kesemu impian bisa dijangkau. Dengan “nasionalisasi aset-aset” tersebut, niscaya kita bisa menghidupi sebagian besar warga negara kita dengan layak dan bermartabat. Namun, apakah “nasionalisasi aset-aset” yang penting itu dapat dilakukan? Mau tau jawabannya? Tanya Pak SBY.
*Iwan Sulistyo, Mahasiswa FISIP-UI, Jakarta